Namun, sebelum bahasa Indonesia resmi digunakan di Indonesia, masyarakat di nusantara menggunakan bahasa yang berbeda, begitu pula dengan cara penulisannya. Jadi klaim bahwa dulunya orang Indonesia itu buta huruf tentu tidak sepenuhnya benar. Mereka hanya memiliki bahasa dan tulisan yang berbeda dengan yang dikenal para penjajah.
1. Bahasa Melayu Kuno
Dari rekaman paling awal yang tercatat, bahasa Melayu adalah bahasa asli yang digunakan oleh kedua sisi daerah yang terpisahkan Selat Malaka yaitu wilayah Sumatra dan semenanjung Melayu. Bahasa Melayu Purba merupakan bahasa awal yang digunakan sebelum pedagang dari India datang ke nusantara. Setelah mendapat pengaruh dari India, maka bahasa yang dipakai kemudian dinamakan menjadi bahasa Melayu Kuno.
Pada abad ke-7 hingga ke-13, bahasa Melayu Kuno menjadi bahasa yang dipakai secara meluas di wilayah semenanjung Malaysia, Sumatera, hingga Riau. Bahasa Melayu kuno bersifat sederhana, mudah menerima pengaruh luar serta tidak memiliki perbedaan penggunaan berdasarkan struktur strata masyarakat. Hal ini menjadikan bahasa Melayu lebih cepat berkembang.
Bahasa Melayu Kuno selanjutnya banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa Sanskrit karena banyaknya masyarakat yang menganut agama Hindu. Bahasa Sanskrit sendiri sebenarnya juga sudah digunakan namun oleh kalangan bangsawan dan mereka yang memiliki hierarki tinggi dalam masyarakat. Pengaruh Hindu dalam bahasa ini akhirnya juga membentuk sistem huruf atau penulisan menggunakan huruf Pallawa atau Dewanagari yang berasal dari India, serta huruf Kawi yang merupakan modifikasi huruf Pallawa.
Pengaruh-pengaruh tersebut menjelaskan mengapat banyak ditemukan prasasti yang menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Palawa atau Nagari di wilayah Sumatera dan Jawa. Misalnya prasasti Kedukan Bukit di Palembang (683M), prasasti Talang Ruwo di Palembang (684M), prasasti Kota Kampur di Pulau Bangka (686M), prasasti Karang Brahi di Jambi (692), dan prasasti Gandasuli di Jawa Tengah (832) yang menggunakan huruf Nagari.
2. Bahasa Melayu Klasik
Selanjutnya, bahasa Melayu Kuno beralih menjadi bahasa Melayu Klasik. Peralihan ini terjadi karena semakin kuatnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara pada abad ke-13. Bahasa ini kemudian digunakan oleh Kesultanan Melaka, Kesultanan Aceh, dan beberapa tokoh politik lainnya sejak abad ke-14 hingga abad ke-18.
Transisi bahasa Melayu Klasik ditandai dengan adanya berbagai kata serapan dari bahasa Arab, bahasa Parsi, serta bahasa Portugis. Catatan-catatan tertulis seperti naskah hikayat, peraturan perundangan, dan surat-surat antara penguasa nusantara yang ditemukan tercatat menggunakan bahasa Melayu Klasik. Tulisan yang digunakan juga mulai mendapatkan pengaruh dari huruf Arab yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
Tiga prasasti penting yang menjadi bukti transisi menjadi Melayu Klasik adalah prasasti Pagar Ruyung di Minangkabau (1356), Prasasti Minyetujoh di Aceh (1380), dan Prasasti Kuala Berang di Trengganu, Malaysia (1303-1387). Prasasti Pagar Ruyun ditulis dalam huruf India dengan prosa Melayu Kuno dan beberapa baris sajak Sanskerta. Namun, bahasa yang digunakan sedikit berbeda dengan bahasa Melayu pada abad ke-7. Prasasti Minyetujoh merupakan prasasti pertama yang mencatat penggunaan kata-kata Arab seperti “Allah”, “nabi”, dan “rahmat”. Selanjutnya prasasti Kuala Berang, ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu yang membuktikan bahwa tulisan Arab sudah digunakan dalam bahasa Melayu.
Pengaruh Islam terasa kental dalam bahasa Melayu Klasik seperti penggunaan kalimat yang panjang dan berulang, banyak kalimat pasif, menggunakan bahasa istana, terdapat kosa kata klasik (contoh: edan kesmaran, sahaya, masyghul), banyak menggunakan perdu kata di awal kalimat (contoh: sebermula, alkisah, hatta, adapun), banyak partikel pun dan lah, menggunakan aksara Jawi atau aksara yang dipinjam dari bahasa Arab dengan beberapa huruf tambahan, serta adanya beragam kosa kata Arab dan frasa yang bernuansa Arab.
3. Bahasa Indonesia
Di Indonesia, bahasa Melayu kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari. Meski begitu, di awal pemakaiannya, belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu karena bahasa daerah dengan jumlah yang begitu banyak masih menjadi bahasa utama yang digunakan sehari-hari.
Tahun 1901, didirikanlah Balai Poestaka sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra. Adanya percetakan ini membuat bahasa Melayu semakin populer dan memunculkan varian bahasa yang mulai berbeda dengan bahasa induk Melayu Riau. Peneliti sejarah bahasa Indonesia menyebutnya sebagai bahasa Melayu Balai Pustaka atau bahasa Melayu van Ophuijsen.
Van Ophuijsen adalah seorang pria Belanda yang menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan Hindia-Belanda. Ia juga yang menjadi penyuting buku terbitan Balai Pustaka. Sehingga akhirnya bahasa yang digunakan menjadi lekat dengan identitas kebangsaan Indonesia dan puncaknya pada Sumpah Pemuda.
Bahasa Indonesia dicetuskan pertama kali sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Muhammad Yamin yang seorang politikus, sastrawan dan ahli sejarah berkata, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya, bahasa Melayu Riau dijadikan sebagai bahasa persatuan dengan beberapa pertimbangan yakni Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari daripada bahasa Melayu karena ada tingkatan bahasa yang mengharuskan si pembicara memahami budaya Jawa agar bisa menyampaikan kalimat dengan baik dan sopan. Bahasa Melayu Riau dipilih karena paling sedikit terpengaruh bahasa lain seperti Cina Hokkien ataupun Tio Ciu Ke.
Pengguna bahasa Melayu juga tidak di Indonesia saja. Tahun 1945, penutur berbahasa Melayu di negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura masih dijajah Inggris. Dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan negara rumpun Melayu lainnya semakin kuat jiwa nasionalisme sehingga bisa segera melepaskan diri dari penjajahan.
4. Ejaan Republik
Ejaan Republik atau edjaan Soewandi digunakan untuk menentukan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini digunakan untuk mengganti ejaan yang sebelumnya yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sejak tahun 1901.
Beberapa perbedaan dalam ejaan ini antara lain perubahan huruf ‘oe’ menjadi ‘u’ (contoh: doeloe menjadi dulu), bunyi sentak yang sebelumnya ditulis dengan tanda (‘) ditulis dengan huruf ‘k’ (contoh: tak, pak, maklum), kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 (contoh: ubur2, ber-main2, ke-barat2-an). Selain itu, pada ejaan Republik, awalan ‘di’ dan kata depan ‘di’ keduanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya seperti dirumah, disawah, dibeli, dimakan.
5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan Baru dipergunakan sejak tahun 1967 sebelum kemudian disempurnakan dengan munculnya EYD pada tahun 1972. Perubahan yang terdapat pada Ejaan LBK antara lain ‘tj’ menjadi ‘c’ (tjutji ke cuci), ‘dj’ menjadi ‘j’ (djarak ke jarak), ‘j’ menjadi ‘y’ (sajang ke sayang), ‘nj’ menjadi ‘ny’ (njamuk ke nyamuk), ‘sj’ menjadi ‘sy’ (sjarat ke syarat), ‘ch’ menjadi ‘kh’ (achir ke akhir).
Sementara itu, penyempurnaan yang ada pada EYD meliputi pemakaian huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan asing, huruf q dan x tetap digunakan dalam ilmu pengetahuan (furqan, xenon), awalan ‘di’ dan kata depan ‘di’ dibedakan pemakaiannya, serta kata ulang harus ditulis penuh unsurnya dan tidak menggunakan angka 2 sebagai tanda perulangan.
Selain itu, EYD juga mengatur penulisan huruf termasuk kapital dan miring, penulisan kata, tanda baca, singkatan dan akronim, angka dan lambang bilangan, serta unsur serapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar